Perkembangan gereja Kristen di Bali pertama-tama dimulai sejak dipikirkannya penginjilan di pulau tersebut pada tahun 1633 hingga terbunuhnya seorang penginjil Belanda, Jacob de Vroom, pada tahun 1881 (Aritonang 2012, 77). Namun, usaha itu gagal karena Pulau Bali dikenal sebagai pulau yang tertutup karena itu merupakan benteng pertahanan orang Hindu setelah mereka diusir oleh orang Islam di pulau Jawa. Kemudian penyebaran diambil alih oleh UZV. Pada tahun 1863, UZV mengirim W. van der Jagt sebagai zendeling yang mempersiapkan penginjilan di Bali. Tanggal 16 Oktober 1864, ia sampai di Bali dan diterima oleh pemimpin masyarakat Bali di Singaraja. Selain itu, UZV bekerja sama dengan Nederlans Bijbelgenootschap (NBG) menugaskan Herman Neubronnes van der Tuuk untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Bali pada tahun 1862. Namun, pelaksanaan itu terealisasikan di tahun 1870 (Aritonang 2012, 85).
Usaha UZV untuk melakukan penginjilan di Bali juga terus dilancarkan dengan mengirim beberapa cendikiawannya. Pertama, UZV mengirim R. van Eck pada tahun 1866. Ia pandai dalam berbahasa dan salah satu karyanya ialah kamus bahasa Bali-Belanda pada tahun 1876. Lalu, dikirimkannya Jacob de Vroom pada November 1866 sampai 1881. Ia ahli dalam bidang obat-obatan. Sayangnya, ia dibunuh ketika sedang bertugas dan dalang pembunuhannya itu adalah I Gusti Wayan Karangasem, yang merupakan anak didikan dari de Vroom (Aritonang 2012, 86-7). Yang terakhir dikirimkan adalah N. Wiggelendam yang tiba di Bali pada bulan April 1880, tetapi baru bisa menetap pada bulan Oktober.
Sayangnya, hampir selama 18 tahun menyiarkan Injil di sana, di tahun 1873 hanya ada satu orang saja yang terbaptis. Kemudian, orang yang membaptis itu dibunuh oleh masyarakat setempat (End dan Weitjens 2008, 256).
Pada tahun 1929, Injil masuk di Bali melalui seorang penginjil CAMA dari Tiongkok daratan, bernama Tsang To Hang (Kam Fuk). Ia diberi izin untuk bekerja pada orang Tionghoa di Bali. Melalui dirinya, pada tanggal 11 November 1931, 12 orang Bali dibaptis dan kemudian bertambah lagi, hingga akhirnya ada sekitar seratus lebih yang dibaptis. Namun, ia mendapat sanksi atas pekerjaannya itu, sampai akhirnya, di tahun 1933, ia harus meninggalkan Bali. Lalu CAMA dilarang mengadakan hubungan dengan Belanda dua tahun berikutnya(End dan Weitjens 2008, 256-7).
[Perjalanan Menuju] Gereja Kristen Protestan Bali
Kemudian, misi pekabaran Injil dilanjutkan dan diambil alih oleh GKJW. Pada tahun 1933, GKJW, melalui sidang Swaru, mengutus Mas Tartib Eprajim dan Mas Darmoadi ke Bali. Mas Tartib melakukan interaksi langsung, dengan duduk bersama-sama di warung kopi dan tempat-tempat lainnya, sebagai bentuk metodenya. Ia menggunakan buku Rasa Sejati kepada orang Bali, sehingga mereka menganggap Mas Tartib sebagai orang yang mengerti rahasia hati manusia. Melalui itu, ia berhasil mengajak orang Bali untuk menjadi Kristen, dan ia membaptiskan mereka dengan cara yang berkembang di pulau itu. Selain itu, Mas Darmoadi menerjemahkan Alkitab ke bahasa Bali, karena ia berbakat di bidang itu (End dan Weitjens 2008, 257-8). Selanjutnya, pada tanggal 5-7 Desember 1933, diutuslah juga guru ketiga yang diputuskan dalam sidang GKJW ke-5, yang bernama Nekamija.
Usaha penginjilan dilakukan terus-menerus kepada masyarakat Bali. Masyarakat Bali pun sudah mulai banyak yang menjadi Kristen. Namun, nilai Kristen yang mereka anut masih terpecah-pecah sehingga adanya kekacauan di antara mereka. Untuk mengatasi perpecahan gereja itu, H. Kraemer mengambil alih kepemimpinan gereja di Bali. Ia juga merekonsiliasi perpecahan gereja di Bali juga.
Pada tahun 1937, jemaat-jemaat yang terpisah tersebut dikumpulkan dalam Pasikian Kristen Bali (PKB). Perkumpulan ini didirikan sebagai wadah tempat mereka melakukan rapat untuk membicarakan persoalan-persoalan yang mereka hadapi (Aritonang 2012, 251). Kemudian, diadakannyalah kursus penghantar jemaat yang dipimpin oleh tenaga dari Jawa dan Belanda. Hal ini disebabkan pernyataan Kraemer yang mengatakan bahwa kemerdekaan gereja ini (yang akan menjadi GKPB) harus dari permulaan, orang-orang Belanda dan Jawa hanya menjadi penasihat dan Gereja berdiri sendiri (Aritonang 2012, 251). Kursus itu diperuntukan bagi jemaat agar mereka siap untuk mandiri. Bukti dari kesiapan menuju kemandirian Gereja Bali ditunjukan melalui pendirian desa Kristen yang bernama Blimbingsari pada tahun 1938. Desa inilah yang menjadi pusat Kekristenan di Bali.
Menjelang tahun 1947, PKB mencetuskan tiga hal yang mendorong kemandirian Gereja Bali serta sebuah sinode yang mengaturnya. Pertama, adanya Gerakan Persatuan Nasional di Indonesia, sehingga muncullah semangat revolusi untuk mempunyai cita-cita kemerdekaan. Kedua, adanya penyerahan tanggung jawab kepada Gereja Bali untuk mengurus dirinya sendiri. Ketiga, adanya kekosongan di Gereja Bali, akibat perginya utusan-utusan non-Bali (Aritonang 2012, 252).
Berdasarkan tiga hal itu, Ketut Suwetja, Made Rungu, dan Wayan Regog mulai membicarakan usaha pemandirian gereja. Dengan mengacu pada AD dan ART Majelis Kristen Indonesia mereka menyusun AD dan ART untuk gereja Bali. Maka pada tanggal 14-15 Januari 1948 diadakanlah sidang Gereja Bali di desa Blimbingsari. Dalam sidang itu, diputuskan bahwa gereja yang berdiri sendiri ini dinamakan Persekutuan Kristen Prostestan Bali (PKPB). Selain itu, dputuskan juga AD dan ART yang melandasinya serta Badan Pengerjanya (BP).
Perjuangan berlanjut. BP melanjutkan rapatnya setelah sidang tersebut. Mereka mengajukan maklumat kepada raja-raja di Bali, yang menyatakan bahwa Gereja telah berdiri sendiri. Surat itu diajukan pada tanggal 31 Januari 1948. Selepas masa pengajuan itu, PKPB mengalami jatuh-bangun dalam hal organisasi gereja dan kebutuhan-kebutuhan gereja. Selain itu, banyak yang merasakan bahwa status yang melekat sebagai PKPB membuat mereka kurang begitu luwes dan luas dalam bertindak. Oleh sebab itu, pada tanggal 12-13 Januari 1949 diadakan sidang kedua. Dalam sidang tersebut muncul pertikaian yang disebabkan adanya perbedaan pandangan mengenai makna berdiri sendiri. walaupun demikian, hal itu dapat dijembatani oleh Nona Frans yang didukung oleh Dr. J. L. Swellenggrebel (Aritonang 2012, 254-6).
Pada akhirnya, kata berdiri sendiri diganti dengan berdiri bersama-sama dengan Gereja lain. Ini menandakan di dalam gereja sendiri kita mempunyai tanggung jawab di hadapan Tuhan. Selanjutnya, nama Gereja PKPB diganti dengan GKPB, yakni Gereja Kristen Protestan Bali. Pada tanggal 20 April 1949, ditetapkanlah nama gereja menjadi Gereja Kristen Protestan Bali. Bersama dengan itu, maka pemerintahan Gereja pun (Sinode) terbentuk (Aritonang 2012, 258).
Refleksi dan Kesimpulan
Pekabaran Injil di Jawa Barat adalah hal yang sulit bagi para zendeling, karena mereka mendapat penolakan dari pribumi Sunda yang sudah terlebih dahulu memeluk agama Islam. Namun, ketika Anthing mulai ikut ambil bagian dalam mengabarkan Injil dengan memadukan agama Kristen dengan kebudayaan Sunda. Hal yang tidak pernah dipakai para zendeling sehingga orang-orang pribumi asing dengan hal tersebut dan tidak terjadilah penolakan tersebut.
Hal serupa juga terjadi di Jawa Tengah. Bedanya, di Jawa Tengah, masuknya Kekristenan melalui 2 jalan, yakni jalan para zendeling dan jalan dari penginjil Pribumi, yakni Kiai Tunggul Wulung dan Kiai Sadrach. Meskipun pada akhirnya jalan melalui zendinglah yang berhasil mendewasakan jemaat-jemaat di Jawa Tengah, namun pada awalnya penginjil pribumi seperti Kiai Tunggul Wulung dan Kiai Sadrach lah yang menjadikan agama Kristen diterima oleh pribumi Jawa. Keadaan sosial politik juga menjadi penentu berhasil tidaknya suatu pekabaran Injil. Ini terlihat ketika VOC dibubarkan dan digantikan oleh pemerintahan Belanda untuk menguasai Indonesia, maka orang-orang Katolik dapat juga melakukan misi mereka sehingga orang-orang Katolik dapat mendirikan institusinya di Indonesia.
Tak jauh berbeda tentang pekabaran Injil yang ada di Jawa Timur, dengan daerah lainnya. Di Jatim pekabaran Injil lebih diwarnai dengan perbedaan metode yang digunakan oleh Johannes Emde, C.L. Coolen dan Paulus Tosari. Para Zendeling yang ada di Jatim memiliki dua fokus dalam melakukan penyebarannya, yakni fokus terhadap desa-desa dengan membuka lahan (gerakan petani) dan terhadap pendidikan. Perkembangan selanjutnya pekabaran Injil di Jatim juga dipenuhi dengan pergerakan nasionalis dari masyarakat, di mana muncul lembaga-lembaga yang mendukung pI tersebut. Hasil akhir dari pekabaran Injil ini dibuktikan dengan berdirinya Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW).
Pekabaran Injil yang terakhir, Bali, merupakan pekabaran Injil yang paling sulit dan penuh tantangan. PI di Bali dapat dikatakan sebagai pI tersulit sepanjang sejarah pI di Indonesia. Kesulitan dirasakan karena Pulau Bali adalah pulau yang tertutup dari pemahaman dan kepercayaan dari luar pulaunya. Maka dari itu, badan zending yang mau mengabarkan Injil menjadi sulit menembus. Walaupun demikian, tidak semua masyarakat Bali kolot dan kaku dalam penerimaan itu, khususnya terhadap orang asing. Ini yang diterima oleh R. van Eck dan Jacob de Vroom. Mereka diterima baik pada awalnya, namun karena kesalahan yang mereka perbuat, terkhusus de Vroom, sehingga ia dibunuh oleh muridnya sendiri. Setelah melewati pergumulan yang lumayan panjang, Kabar Baik pun tersebar di Bali dan gerejanya pun berdiri sendiri dengan nama Gereja Kristen Protestan Bali.
Melihat karya zending yang dilakukan di Jawa dan Bali, ada hal menarik yang dapat dipelajari. Di setiap daerah pekabaran, para zending dan zendeling melibatkan warga setempat dengan baik. Terlebih lagi, banyak orang-orang di daerah setempat yang menjadi pekabar Injil di wilayahnya, seperti Kyai Sadrach dan Paulus Tosari. Selain itu, pekabaran Injil yang dilakukan lebih kepada penyebaran interkultural, yakni penggunaan unsur-unsur budaya setempat sebagai sarana pekabaran. Karya zending lainnya yang berharga adalah penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa daerah, sehingga memudahkan terjadinya pekabaran Injil dan berguna bagi pemahaman akan Kebenaran itu sendiri.
Sumber : http://mimbarmaya.blogspot.com/
Related Posts