Sesudah keruntuhan VOC pada akhir abad XVIII, keadaan jemaat-jemaat di Indonesia sangat menyedihkan. Namun demikian, keadaan kemudian berangsur-angsur menjadi baik. Banyak jemaat mendapatkan lagi seorang pelayan. Hanya jemaat-jemaat di Sangihe Talaud yang tetap dilupakan. Lebih dari satu abad jemaat-jemaat yang sangat merindukan kebenaran ini disia-siakan dan banyak kesempatan baik dibiarkan tidak terpakai. Pada tahun 1817 Pdt. Kam dari Ambon mengadakan kunjungan ke Sangihe Talaud. Di Tagulandang ia diterima dengan gembira oleh raja. Delapan hari ia tinggal di pulau itu. Jemaat di situ sedikit sekali mengetahui tentang Agama Kristen. Di sekolah bahan bacaan tidak ada. Murid-murid hampir-hampir tidak dapat membaca. Di Siau ia mendapat kesan yang baik tentang raja, yang banyak membantu jemaat dan sekolah. Karena pemerintah Belanda tidak lagi memberikan gaji guru, maka raja memberikan jaminan hidup kepada mereka. Raja menyuruh mendidik
hamba-hambanya (budak-budaknya) dalam agama Kristen dan meminta pada Pdt. Kam untuk membaptisnya. Tanggal 29 Oktober 1818, Pdt. Kam membaptis mereka. Raja beserta istrinya menjadi saksi baptisan dan berjanji akan tetap memelihara jiwa hamba-hamba mereka. Di Sangir Besar, Pdt. Kam mendapati anggota-anggota jemaat dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Guru-guru tidak mempunyai kitab suci dan buku katekisasi. Untuk membantu mereka Pdt. Kam membagikan sejumlah kecil Perjanjian Baru. Di Tabukan ia mengabulkan permintaan raja untuk memberkati nikahnya, terutama karena contoh itu diikuti oleh anggota-anggota jemaat lainnya. Keadaan sekolah-sekolah di situ sedikit lebih baik. Guru-guru mengajar dengan baik dan ada beberapa murid yang bisa memberi jawaban atas pertanyaan yang ia ajukan tentang katekismus.
Pada tahun 1855, Lembaga Pekabaran Injil Belanda, mengutus Pdt. Van der Velde Capellen ke Sangihe Talaud untuk mengetahui, apa yang dapat dibuat untuk penduduk Sangihe Talaud. Dalam laporannya ia menulis, di Sangihe Talaud ada kira-kira 20.000 orang Kristen, yang sama sekali terlantar. Pengetahuan tentang agama Kristen sangat dangkal. Iman mereka tercampur dengan Islam dan kafir. Sungguhpun demikian mereka percaya kepada Allah sebagai pencipta langit dan bumi, Allah yang maha kuasa, yang hadir di mana-mana. Allah yang mengampuni dosa manusia oleh Kristus, yang akan menghakimi semua orang pada akhir zaman. Allah yang memegang nasib manusia dan yang akan memberikan hidup yang kekal. Bukan saja iman anggota jemaat, juga hidup mereka sangat memalukan, poligami mereka anggap normal, alkohol dan perzinahan merajalela di mana-mana. Ia mendesak agar Lembaga Pekabaran Injil Belanda segera mengirim tenaga Pekabar Injil ke Sangihe Talaud. Ia sendiri selama kunjungan itu telah membaptis 5033 orang. Ia berkata: "Ladang di situ sedang menguning". Pdt. Heldring dari Belanda menanggapinya. Menurutnya, tenaga Pekabar Injil yang baik adalah mereka yang tidak menerima gaji, tetapi mengusahakan jaminan hidupnya sendiri dengan jalan bekerja sebagai tukang, petani dan lain-lain. Tenaga-tenaga itu dapat diperoleh pada Gossner di Berlin. Gossner adalah seorang bekas rohaniawan Katolik Roma, yang menjadi Protestan dan pada tahun 1829 diangkat menjadi pendeta di Berlin. Berlin adalah pusat rupa-rupa kegiatan Kristen: sekolah, rumah sakit, tempat pendidikan calon-calon pekabar injil.
Hasil pendidikan Gossner, berupa "utusan-utusan pekerja", disebut sebagai orang-orang Gossner dan dipersiapkan untuk bekerja diberbagai daerah pekabaran Injil. Schroder, Steller, Kelling dan Grohe adalah empat pemuda Jerman lulusan Gossner. Mereka adalah rombongan pertama yang ditugaskan ke
Sangihe Talaud. Sesudah "diteguhkan", mereka berangkat ke Sangihe Talaud pada tahun 1855 melalui Betawi (Jakarta). Urusan di Betawi dengan Pemerintah Belanda memakan waktu lama karena pendidikan mereka dianggap tidak cukup. Mereka bukan Sarjana Teologi, tetapi para tukang yang lulus sekolah penginjilan. Baru dalam bulan Oktober 1856 mereka mendapat izin dari Pemerintah untuk bekerja di Sangihe Talaud. Berdasarkan izin itu mereka menerima dari pimpinan Gereja Protestan Hindia Belanda, "ijazah persamaan" sebagai gembala (pendeta) dan pengajar (guru) untuk jemaat-jemaat di Sangihe Talaud. Dengan ijazah itu, sesudah 16 bulan menunggu di Betawi, mereka melanjutkan perjalanan ke Manado. Tetapi di situ, berhubungan dengan kesulitan-kesulitan teknis mereka harus menunggu lagi kira-kira setengah tahun. Di Manado mereka tinggal di Kema di rumah pendeta-pendeta zending. Dari residen Jansen mereka banyak mendapat bantuan, antara lain 150 Kitab Suci dan 1100 buku katekisasi dalam bahasa Melayu untuk pekerjaan mereka. Dari Manado, Kelling dan Grohe, bersama-sama dengan raja Siau, melanjutkan perjalanan. Karena kapal raja Siau kandas, mereka kehilangan semua barang mereka. Mereka tiba di Siau tanggal 13 Juni 1857, tanpa membawa barang milik mereka. Untuk membantu meringankan beban mereka, Linemann, atas nama jemaat Manado mengirim 600 gulden kepada mereka. Tanggal mereka tiba di Sangihe Talaud, 13 Juni 1857, ditetapkan oleh GMIST sebagai Hari Pekabaran Injil GMIST.
Rombongan kedua para pekabar Injil ke Sangihe Talaud adalah Van Essen, Gunther, Richter (dari Belanda), dan Tauffmann, Fischer (dari Jerman). Mereka berangkat pada akhir 1857 dan sesudah lima bulan berlayar mereka tiba di Betawi. Di situ mereka kira-kira setahun harus menunggu, sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke Talaud. Fischer tidak ikut. Ia dipanggil pulang ke Belanda berhubung dengan kelakuannya yang tidak terpuji selama pelayaran mereka ke Indonesia.
Oleh karena mereka tidak "diteguhkan" sebelum berangkat ke Indonesia, mereka tidak mendapat "ijazah persamaan" dari Gereja Protestan Hindia Belanda. Itu berarti, bahwa kepada mereka tidak diberikan hak untuk melayani sakramen baptisan dan sakramen perjamuan kudus. Menjadi pertanyaan mungkinkah pekerjaan pekabaran Injil kepada orang-orang kafir yang mau menerima Yesus dilakukan tanpa baptisan dan perjamuan kudus? Dalam praktek mereka rupanya tidak begitu banyak menghiraukan larangan itu. Mereka, karena "desakan keadaan" sering melayani baptisan dalam jemaat-jemaat mereka. Hanya perayaan perjamuan malam tidak mereka lakukan.
Sumber : http://resortinbar.site90.com/
Related Posts